Skip to main content

Dari Dua Sajak Sutardji

Sajak 1:
Sebuah Peringatan Dini TAMAN
Lewat pupuk-pupuk hutang gedung mekar di mana-mana.
Mereka bilang kami berada di taman pembangunan.
Danaku diundang ke gedung gagah dengan sound system yanglantang.
Tapi yang kuteriakkan cuma lengang.
Meski listrik sampai desa di pedalaman hati tak ada cahaya.
mereka yang masih disentuh cahaya hanya bisa diam.
Bahkan penyair tak sanggup mengucap.
Kalimat pucat, darah tak mampu melafazkan sengsara.
Kita agaknya memang betah derita.
Sementara kata-kata laripada issue pada isyarat sekarat dan pada sandi usang.
Bagaimanapun aku warga negara kata.
Tanahairku bahasa.
Tapi kata-kata sudah mengungsi.
Dan aku kehilangan negara.

1990-1994 Tahun penulisan sajak bisa membantu banyak untuk memetik makna sajak. Contohnya, sajak di atas ini. Sutardji Calzoum Bachri (SCB) mencatat rentang waktu 1990-1994. Empat tahun untuk sebuah sajak. Ini bukan rentang waktu yang paling panjang bagi penyair yang kini berumur 68 tahun. Ada sajak lain yang tahun penulisannya lebih panjang, yakni sajak Malam di Batam yang bertahun 2000-2008. Saya ingat itu sebenarnya adalah sajak yang diterbitkan di halaman Bentara Kompas, sajak yang mengantar beberapa sajak yang ia editori di lembaran itu.
Dalam rentang waktu penulisan itu, bukan berarti dia dipelototi setiap hari sepanjang hari selama empat atau delapan tahun. Pencantuman tahun, bisa dianggap sebagai sebuah pertanggungjawaban atau pemberitahuan atau penanda bahwa sajak itu pada tahun terakhir diubah lagi, ditambahi, disempurnakan, dan perubahan itu menurut penyair penting. Pembaca yang jeli atau penelaah yang cermat yang punya arsip yang baik tentu bisa melacak, apa saja perubahan yang dibuat oleh penyair pada sajaknya.
Kita kembali ke sajak “Taman”. Perhatian saya tersita pada tahun penulisan sajak ini, setelah saya selesai membaca sajaknya. Ini sebuah sajak berisi kritik sosial yang keras. Lihat, ada kata ‘pembangunan’, ada frasa yang menyaran pada ‘listik masuk desa’. Itulah dua kata yang menjadi mantera sakti rejim orde baru. Kata yang bahkan bagi sebagian orang di negeri ini sampai hari ini menjadi penanda keabsahan sang penguasa. Sutardji mengritiknya bahkan sejak larik pertama: Lewat pupuk-pupuk hutang gedung mekar di mana-mana! Pesannya sederhana: pembangunan dengan fonfdasi yang rapuh membuat kita kehilangan kedaulatan negara. Betapa benarnya kritik itu, dan sekian tahun kemudian hal itu terbukti. Ekonomi Indonesia ambruk!
Rasanya, pada tahun-tahun itu jika sajak ini dibacakan oleh penyairnya di sebuah pertunjukan di mana pun, cukup alasan bagi intel untuk bikin laporan darurat dan kemudian aparat datang menjemput dan menginterogasi seharian semalaman, lalu pulang dengan wajah babak belur dan tubuh remuk redam. Nyatanya, selama Orde Baru Sutardji sebagai penyait tidak pernah dicekal. “Cuma pernah penyelenggara baca puisi diimbau sajak yang ini yang itu sebaiknya jangan dibacakan,” kata Sutardji pada saya. Tahun penulisan sajak ini menjadi penanda yang amat penting. Sajak itu agak berkurang kedalaman maknanya, jika ditulis pada tahun 1998 atau sesudahnya atau pada tahun-tahun ini. Sutardji Calzoum Bachri menulis sajak ini, seakan ia menulis sebuah ramalan. Semacam peringatan dini. Ia mengamati dengan cermat kondisi Indonesia pada tahun-tahun itu, dia geram, dia marah, dan karena dia penyair dia lantas merumuskan pengamatan, kegeraman, dan kemarahannya dalam sebuah sajak. Disini pula hebatnya Sutardji - ah, apa masih perlu pujian seperti ini. Dia tidak terseret oleh kegeraman dan kemarahan itu, dia lantas menyusun sebuah pengucapan khas dia tanpa harus menjadi penulis sajak pamflet.
Kecenderungan Sutardji pada tema-tema sosial, dengan muatan kritik yang lugas, dalam buku “Atau Ngit Cari Agar” sudah dimulai pada sajak “David Copperfield” (1990), “Jembatan” (1993), lalu dilanjutkan pada sajak Kami Tahu Asal Jadi Kau” (1998), berpuncak pada “Tanah Air Mata” (di buku ini tanpa tahun), dan akhirnya sajak “Cari” (1998).

Sajak 2.
Menukar Gelisah, Menukar Badan BUAT saya, ketika berada di depan sebuah sajak, selalu menarik menebak apa yang ingin disampaikan penyair lewat sajak itu. Kenapa ia menyampaikannya dengan cara yang ada pada sajak itu. Tak ada cara lain kecuali menafsir. Saya percaya bahwa apa yang datang dari luar sajak itu sah dan boleh saja didatangkan untuk mendukung tafsiran.
Buat saya, sebagai penyair, memang kedua hal itulah pertanyaan pokok ketika menyajak. Mau menyampaikan apa. Lalu bagaimana cara menyampaikannya. Mau mengucapkan apa dan bagaimana cara mengucapkannya. Ada risau di sana sisi dan nikmat sini sisi dalam kedua hal itu. Dan nikmat dan risau itulah nafkah dan sekaligus upah yang diberikan dan diambil oleh sajak kepada dan dari penyair yang menjadikannya ada.
Lalu apa ya kira-kira yang ingin disampaikan SCB dalam sajak 32 baris “Lampu Antik” berikut ini? Kenapa pula dia menyampaikan dengan cara begini?

LAMPU ANTIK
lampu tua menunggudi toko barang antik
lampu tua setia menunggu nunggu orangmembelinya
lampu tua tembaga yang berkilap di tangan tahun tahun
ah berapa lama kau pernah menyala
beberapa lama kau pernah menatap
senyum nyonya nyonya dan tuan tuan
lampu tua yang sopan
lampu tua bijak
betapa sering kau menyipitkan matamu
sambil pura pura tak tahu
ketika mereka menukarkan gelisah mereka dengan saling menukarkan badan
lampu tua yang sabar
lampu tua yang kuat
ah betapa bisanya kau menahan tangis
dalam matamu yang lebar dan terang
ketika kau lihat mereka sudah siap
untuk kembali sia sia
ketika kau lihat mereka
menggantungkan lap dukadi pinggir ranjangl
ampu tua menunggu di toko barang antik
dan seorang wanita
membelainya
ingin membawa tidur malam ini

1977Bisa jadi SCB memulakan sajak ini dari pengamatan dan ketertarikannya pada sebuah lampu tua di toko barang antik. Lantas ia membuat sajak naratif ini. Ia berkisah tentang lampu tua di sebuah toko barang antik itu. Tapi tentu sebuah sajak akan sia-sia kalau sekedar bercerita saja tentang sesuatu.
Harus ada yang tersampaikan dari sajak itu. Nah, inilah nikmat dan risau menyair itu. Maka, SCB pun saya bayangkan mengutak-atik kalimat dan saya kira itulah yang akhirnya tersimpan sebagai makna dalam sajak ini: betapa sia-sianya hubungan antara kalian wahai tuan-tuan dan nyonya-nyonya. Kalian mungkin punya alasan untuk saling menukarkan badan, kalian bilang itu untuk saling menukarkan gelisah kalian, tapi toh akhirnya itu berujung pada sia-sia bak menggantung lap duka di pinggir ranjang.
Kisah dalam sajak ini diakhiri dengan sebuah peristiwa yang sebenarnya juga tidak mengisyaratkan sebuah akhir. Lampu tua itu menunggu di toko barang antik itu. Dan seorang wanita – entah apakah dia itu salah satu nyonya yang disaksikan oleh lampu itu saat bertukar gelisah dan bertukar badan dengan seorang tuan – membelai lampu itu. Wanita itu menginginkan si lampu, membawanya tidur malam itu.
Akhirnya, begitulah tafsir saya atas sajak ini, yang sia-sia akan pergi dan dengan kesadaran atas kesia-siaan itu, kita harus kembali pada apa yang hakiki.
Di sajak ini yang hakikat itu dihadirkan dengan metafora lampu tua: sesuatu yang dulu pernah menerangi kita, tapi tak kita sadari terangnya, karena kita sibuk dengan gelisah badaniah kita, yang setia menunggu kita kembali padanya untuk kembali menyalakannya tentu dengan kesadaran akan keberadaan terang lampu itu.
Ataukah proses itu sebaliknya? SCB menetapkan dulu pesan dalam sajaknya ini, lalu mencari cara mengucapkan? Lalu dia menemukan metafora lampu tu aitu? Bisa jadi. Mungkin saja. Tapi saya tak yakin begitu. Ah, tapi saya tak yakin pada ke-takyakinbegitu-an saya juga.
Begitulah. Dalam sebuah sajak baik-baik yang digubah dengan sungguh-sungguh, selalu ada makna yang bisa saya petik. Ada pula pelajaran menyajak dari situ: begitulah seharusnya sebuah makna diniatkan, dan dimuatkan ke dalam sebuah sajak.***

Dikutip dari Harian Batam Pos.

Comments

Popular posts from this blog

Hujan

Rinai hujan masih membasahi rerumputan yang mulai menguning Kering karena terik yang membuat tanah seakan dahaga akan kesejukan banyu yang menyegarkan Aroma embun masih segar terasa Menyeruak masuk hingga ke dalam aortaku Tenang... Damai... Kututup mataku menikmati anugerah Tuhan yang begitu indah Mengistirahatkan kepenatan dalam benak yang berkecamuk Mengukir senyuman di balik rindu akan cinta yang belum menampakkan dirinya

Ibu

Terngiang aku pada masa-masa polosku Di saat hati belum tersentuh dengan kata jatuh cinta Dan seluruh rasa dalam hati hanya ada untuk mereka yang selalu ada untukku Ku lihat ia dengan wajahnya yang sedikit mengeriput Kulit yang termakan waktu Hingga mengharuskan kata mulus harus menyingkir dari dirinya Namun senyuman itu Tak pernah luput walau harus menahan sakit dan menghela penat yang bersarang di tubuhnya Seketika air mata menetes  Mengingat kata-kata indahnya dahulu Saat aku bersandar di pangkuannya Dan ia pun membelai lembut rambut panjangku Saat aku merasa khawatir Takut menyelimuti  jika orang yang saat itu ada di depanku harus pergi selamanya dan dengan senyuman terindah ia berkata "Kami akan terus bersamamu, nak... Akan terus mendampingimu di setiap langkahmu... Hingga suatu saat... Akan hadir seseorang  Yang akan menggenggam tanganmu dan akan meneruskan tanggung jawab kami  untuk selalu mendampingimu Menjagam

Fatamorgana Kehidupan

kata manis tak berujung janji-janji meniup debu asa yang tak berarti dimana ada jalan sepi yang riuh disana pula kobar gemuruh menguak pilu gonjang ganjing mulut pesimis yang optimis menyusun kursi-kursi kehidupan yang fana menyiram rerumputan yang kecil lalu mengobarkan bara dalam semak yang belukar asap-asap picik kehidupan penuh tipu daya seolah tak hiraukan hembusan angin segar dari pegunungan ah... fatamorgana kehidupan yang naif menggunjing nasib anjing di rumah mewah namun tak hiraukan kucing-kucing kelaparan di tepi jalan setan teriak setan namun malaikat hanya dapat duduk menonton tak berdaya... inilah dia dunia yang penuh skenario seperti dalam drama....