Skip to main content

Pensil dan Senja

PENSIL DAN SENJA


Sudut Pandang Orang Pertama

Langit sore itu sangat cerah, birunya begitu ceria, hingga aku ingin sekali berlari ke luar untuk menari di rerumputan hijau yang membentang di pinggiran danau sana. Sungguh menyenangkan dan menenangkan di  saat-saat seperti ini. Setelah seharian berkutat dengan semua pekerjaan yang membuat suhu di kepala ini semakin tinggi.

Saat ini, aku sedang menghadap keluar jendela kantorku dan menatap birunya langit serta hamparan hijau di pinggiran danau yang sangat indah itu. Entah kenapa ingatanku melayang pada sore satu tahun lalu, di mana aku masih bisa bercanda renyah dengan dia. Padahal, dia mungkin kini sedang berbahagia dengan wanita itu. Ah... pikiran yang aneh. Untuk apa aku memikirkan orang yang sudah tidak perlu dipikirkan lagi.

Kembali aku ke meja kerjaku, menatap laptopku dan kembali berusaha untuk fokus bekerja. Tetapi lagi-lagi mataku liar menoleh ke tempat pensil berwarna hijau yang tergantung di depanku. Ada beberapa pena warna-warni, spidol merah, biru dan hitam, serta tiba-tiba aku melihat sebatang pensil berwarna ungu dan bercorak bintang-bintang. 

Pensil itu... 

Seketika aku ingat seseorang. Ya, dia lagi. Orang yang tadi aku ingat pernah membuatku tertawa renyah di pinggiran danau dengan ditemani awan biru yang begitu indah.

Dan pensil itu...

Seketika ingatanku melayang pada kejadian 1 tahun yang lalu.

***

Danang, itulah namanya. Malam ini, tepat di hari ulang tahunku, dia memberikanku sebuah bingkisan kecil. Kotaknya sangat lucu dan mungil, namun sedikit panjang. Bungkusnya berwarna ungu, seperti biasanya dia tau warna favoritku. Menerima sekotak bingkisan dari orang yang istimewa, spontan terpancar rona bahagia pada wajahku. Aku tidak tahu apa isi kotak mungil itu, namun itu pasti sesuatu yang sangat istimewa.

Setelah makan malam, aku memberanikan diri untuk langsung membuka bingkisan mungil yang ada di depanku. Dan ternyata isinya adalah sebuah pensil berwarna ungu bercorak bintang-bintang. Namun apa alasannya Danang memberiku pensil ini?

Seolah membaca raut wajahku yang seperti orang kebingungan penuh tanya, Danang seketika langsung menjelaskan alasannya memberikan pensil yang saat ini ada di tanganku.

"Aku tahu kamu suka menulis dan melukis. Pensil adalah alat tulis yang paling kamu sukai daripada pena-pena-mu yang berwarna-warni. Dan pensil itu adalah pesanku, bahwa jika kamu merasa tulisan atau lukisanmu tidak baik, maka hapuslah perlahan dan buat yang baru, tanpa harus mencoret dan mengotori bukumu. Walaupun itu tidak akan pernah seratus persen bersih, namun dengan tulisan dan lukisan baru yang kau tulis dengan pensilmu, itu akan menjadi sesuatu yang lebih baik dari apa yang pernah kamu buat sebelumnya. Dan kamu tau, begitu pula hidup kita. Maknailah itu." Jelasnya sembari menatap mataku dengan penuh arti.

Mendengar penjelasannya yang begitu dewasa dan penuh filosofi, aku pun tersenyum dan begitu bersyukur telah memiliki Danang dan pensil yang dihadiahkannya padaku. Pensil ini, adalah filosofi hidup yang akan selalu aku ingat.

***

Jam dinding telah munjukkan pukul lima sore. Satu per satu karyawan di kantorku pun mulai beranjak pulang. Aku merapikan semua file-file di mejaku dan memasukkan laptop ke dalam tasku. Sembari mengambil pensil ungu yang membuatku ingat akan filosofi yang dikatakan Danang dulu, aku pun tersenyum. Kenangan bersama Danang hanyalah tinggal dalam angan yang tak pernah kembali. Entahlah, apakah dia akan kembali, atau benar-benar akan menjadi masa lalu yang mungkin akan aku hapus. 


Sudut Pandang Orang Ketiga

Di sebuah restoran bernuansa vintage dan sangat unik, terlihat sepasang muda-mudi duduk di sebuah meja yang terletak di  pinggiran dinding kaca. Dengan dihiasi pemandangan taman yang tampak dari dalam restoran, membuat malam itu semakin romantis. Malam 14 Februari 2018, hari ini pasangan muda-mudi itu bukan akan merayakan hari kasih sayang atau yang sering disebut-sebut sebagai hari valentine, namun salah satu dari mereka sedang merayakan hari kelahirannya. Senja, itulah nama perempuan yang saat ini tepat menginjak usia 26 tahun. Usia yang tidak lagi remaja, namun juga bukan usia yang terlalu tua untuk seorang perempuan sepertinya.

Dengan suasana yang begitu romantis, tampak pria di hadapannya mengeluarkan sebuah bingkisan yang cantik. Dengan sumringah perempuan berjilbab merah muda itu tersenyum bahagia saat seorang pria yang ada di depannya itu memberikan sebuah bingkisan kecil berwarna ungu kepadanya. Danang, pria bertubuh tinggi dengan kulitnya yang putih itu adalah kekasih Senja. Sudah satu tahun mereka menjalin hubungan, dan Danang tahu benar apa yang disukai Senja.

Setelah makan malam, perempuan berkaca mata itu seolah penasaran dengan apa isi bingkisan yang ada di depannya saat itu.

"Aku buka ya?" ungkapnya pada Danang.

Danang hanya menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. Perlahan perempuan itu membuka kertas kado yang membungkus kotak mungil yang ada di tangannya. Dan saat ia membukanya, ternyata sebuah pensil berwarna ungu bercorak bintang-bintang ada di dalamnya. Seketika raut wajah perempuan bertubuh semampai itu tersenyum. Namun senyumannya seolah penuh tanya. Untuk apakah pria yang ada di hadapannya itu memberikan sebatang pensil di hari ulang tahunnya?

Seakan tau dengan raut wajah penuh tanya dari perempuan yang dia sayangi, Danang pun langsung menjelaskan maksudnya memberikan pensil itu pada Senja.

"Aku tahu kamu suka menulis dan melukis. Pensil adalah alat tulis yang paling kamu sukai daripada pena-penamu yang berwarna-warni. Dan pensil itu adalah pesanku, bahwa jika kamu merasa tulisan atau lukisanmu tidak baik, maka hapuslah perlahan dan buat yang baru, tanpa harus mencoret dan mengotori bukumu. Walaupun itu tidak akan pernah seratus persen bersih, namun dengan tulisan dan lukisan baru yang kau tulis dengan pensilmu, itu akan menjadi sesuatu yang lebih baik dari apa yang pernah kamu buat sebelumnya. Dan kamu tau, begitu pula hidup kita. Maknailah itu." Jelas Danang sembari menatap mata kekasinya itu dengan penuh arti.

Senja yang masih saja memengang pensil lucu dari Danang, masih terus tersenyum dengan penuh kebahagiaan. Perempuan berparas manis itu berjanji akan terus menyimpan dan menjaga pensil itu sebagai satu tanda pelajaran berharga yang ia peroleh dari Danang. Dia tidak pernah tau bagaimana kelanjutan hubungannya dengan pria berkacamata di depannya itu, apakah akan terus berlanjut ke pelaminan, ataukah akan kandas di tengah jalan. Namun pensil itu, akan selalu dia simpan dengan baik.

***

Sore itu langit sangat cerah, dengan hamparan hijau di pinggir danau. Tampak dari kejauhan berdiri seorang perempuan bertubuh semampai sedang berdiri tegak di depan jendela kantornya. Seolah ingin berlari menikmati sore yang indah di pinggiran danau sana, pandangan perempuan itu seperti melayang menuju kenangan yang tidak dapat ia lupakan. 

Satu tahun telah berlalu sejak kejadian itu, di mana Danang masih menemaninya menikmati sore sambil tertawa renyah di pinggir danau. Kini pria berkacamata itu sudah memiliki kekasih lain. Dan Senja, masih dengan kesendiriannya menikmati hari-harinya.

Perempuan itu kembali ke meja kerjanya dengan gontai. Lima belas menit lagi waktu kerja akan berakhir. Senja masih berusaha untuk kembali fokus pada pekerjaannya yang belum selesai. Namun matanya kembali menatap ke arah tempat pensil yang tergantung di depannya. Pensil berwarna ungu bercorak bintang-bintang itu masih ada di sana.

Sembari mengambil pensil itu, ada segores senyuman yang tercipta di wajah manis Senja. Ingatannya akan masa lalu mungkin tidak mudah ia lupakan. Danang yang dulu pernah menjadi seseorang yang sangat istimewa di hatinya, mungkin tidak akan pernah kembali lagi. Namun filosofi pensil yang pernah dikatakan Danang dulu saat mereka masih bersama, akan selalu menjadi pelajaran hidup yang akan selalu diingat olehnya.

Comments

Popular posts from this blog

Hujan

Rinai hujan masih membasahi rerumputan yang mulai menguning Kering karena terik yang membuat tanah seakan dahaga akan kesejukan banyu yang menyegarkan Aroma embun masih segar terasa Menyeruak masuk hingga ke dalam aortaku Tenang... Damai... Kututup mataku menikmati anugerah Tuhan yang begitu indah Mengistirahatkan kepenatan dalam benak yang berkecamuk Mengukir senyuman di balik rindu akan cinta yang belum menampakkan dirinya

Ibu

Terngiang aku pada masa-masa polosku Di saat hati belum tersentuh dengan kata jatuh cinta Dan seluruh rasa dalam hati hanya ada untuk mereka yang selalu ada untukku Ku lihat ia dengan wajahnya yang sedikit mengeriput Kulit yang termakan waktu Hingga mengharuskan kata mulus harus menyingkir dari dirinya Namun senyuman itu Tak pernah luput walau harus menahan sakit dan menghela penat yang bersarang di tubuhnya Seketika air mata menetes  Mengingat kata-kata indahnya dahulu Saat aku bersandar di pangkuannya Dan ia pun membelai lembut rambut panjangku Saat aku merasa khawatir Takut menyelimuti  jika orang yang saat itu ada di depanku harus pergi selamanya dan dengan senyuman terindah ia berkata "Kami akan terus bersamamu, nak... Akan terus mendampingimu di setiap langkahmu... Hingga suatu saat... Akan hadir seseorang  Yang akan menggenggam tanganmu dan akan meneruskan tanggung jawab kami  untuk selalu mendampingimu Menjagam

Fatamorgana Kehidupan

kata manis tak berujung janji-janji meniup debu asa yang tak berarti dimana ada jalan sepi yang riuh disana pula kobar gemuruh menguak pilu gonjang ganjing mulut pesimis yang optimis menyusun kursi-kursi kehidupan yang fana menyiram rerumputan yang kecil lalu mengobarkan bara dalam semak yang belukar asap-asap picik kehidupan penuh tipu daya seolah tak hiraukan hembusan angin segar dari pegunungan ah... fatamorgana kehidupan yang naif menggunjing nasib anjing di rumah mewah namun tak hiraukan kucing-kucing kelaparan di tepi jalan setan teriak setan namun malaikat hanya dapat duduk menonton tak berdaya... inilah dia dunia yang penuh skenario seperti dalam drama....